Regulasi

Indonesia Negoisiasi Ulang Dagang dengan Eropa 

JAKARTA-Pasca Komisi Eropa mengesahkan Delegated Regulation no. C (2019) 2055 Final on High and Low ILUC Risk Criteria on Biofuels yang menyimpulkan bahwa perkebunan kelapa sawit telah mengakibatkan deforestasi besar-besaran. Indonesia akan mengkaji ulang negosiasi dagang Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa (Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement/IE CEPA).

"Pemerintah sedang mengkaji apa yang harus dilakukan selanjutnya dengan negosiasi Indonesia-EU CEPA. Tahun lalu ekspor kita ke Uni Eropa US$ 17,2 miliar, tapi di sisi lain industri sawit nasional menyerap 17 juta tenaga kerja kita. Silakan hitung sendiri," kata Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional (PPI) Kementerian Perdagangan, Iman Pambagyo, dalam konferensi pers di kantor Kemenko Perekonomian, Senin. 18 Maret 2019 seperti dilaporkan Bisnis.

Iman mengungkapkan, keberlanjutan lingkungan (sustainability) memang menjadi salah satu isu alot yang dibahas dalam perundingan IE CEPA, yakni dalam bab khusus mengenai Perdagangan dan Pembangunan Berkelanjutan (Trade and Sustainable Development).

"Tuntutan kita jelas terkait isu palm oil, untuk setiap bab maupun perjanjian secara keseluruhan, kita hanya mau merundingkan sustainability on all vegetable oils, bicara keberlanjutan harus seluruh minyak nabati, bukan sawit saja. Harus non-diskriminatif, semua komoditas minyak nabati dapat perlakuan yang sama," tegas Iman.

Seperti diketahui, rancangan regulasi energi Uni Eropa yang dinamakan Renewable Energy Directives II (RED II) berencana menghapus penggunaan bahan bakar nabati/BBN (biofuel) berbasis CPO secara bertahap hingga 2030. 

Hasil kajian Komisi Eropa menyatakan bahwa 45% dari ekspansi produksi CPO sejak tahun 2008 telah berujung pada kehancuran hutan, lahan gambut (peatlands) dan lahan basah (wetlands) serta menghasilkan emisi gas rumah kaca secara terus-menerus.

Sebaliknya, kajian yang sama mengklaim hanya 8% dari ekspansi produksi minyak kedelai (soybean oil) dan 1% dari minyak rapeseed dan bunga matahari (sunflower) yang berkontribusi pada kerusakan yang sama.

Seperti diketahui, ketiga komoditas ini merupakan pesaing sawit dalam pasar minyak nabati global.

Komisi Eropa sendiri menetapkan angka 10% sebagai batas untuk menentukan minyak nabati mana yang lebih berbahaya bagi lingkungan, dalam kriteria indirect land use change/ILUC yang disebut negara-negara produsen CPO seperti Indonesia dan Malaysia sebagai kriteria yang tidak diakui secara universal. (rdh)


 


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar